Teman di Ujung Senja*

>> Rabu, 25 Juni 2014

Yuni Budiawati

Tak sengaja
Ya... aku mengenalnya secara tak sengaja
Lewat jendela,
di ujung Selasa senja

Lewat jendela kami bercanda
Tertawa pada sikapnya yang manja
Menunjukan wajah ceria,
lewat jendela saat senja

Kini saat senja
Aku menutup jendela,
saat dia membukanya
Karena surat berwarna jingga,
yang ada di atas meja

Ya... surat cinta berwarna jingga
Dari seorang teman,
yang kukenal dengan tak sengaja
di ujung Selasa senja

Senja...
Bagaimana caranya kukatakan,
bahwa dia sangat menawan
Bagaimana caranya kukatakan,
bahwa dia sangat perhatian

Tapi senja...
Bagaimana bisa kukatakan,
Jika ada perempuan yang lebih menawan
Bagaimana bisa kukatakan
Jika bagiku dia hanya,
teman di ujung senja

Ciputat, Jumat, 6 Juni 2014
*Lanjutan puisi ‘Bingkai Senja’ 19 April 2014

Read more...

Tinta dalam Secarik Kertas

Yuni Budiawati

Aku ingin menulis sajak
Di atas secarik kertas
yang kutemukan di tas

Aku tak tahu pasti,
apa yang ingin kutulis
Tentang langit yang biru?
Tapi langit sedang kelabu
Tentang duka cinta?
Aku juga tak tahan dengan airmata
Atau tentang masa depan,
yang tak tahu kapan akan datang?

Ah... aku tak tahu!

Aku tak tahu apapun,
tentang sajak ataupun pantun
Kini di atas kertasku itu
hanya coretan tak menentu

Tinta    Tinta    Tinta    Tinta
                  Tinta
                  Tinta
                  Tinta
                  Tinta
                  Tinta

Ciputat, Jumat, 30 Mei 2014

Read more...

Punya Sayap

Yuni Budiawati

Dulu aku pemalu
Sendiri menyepi di balik bilik
Mengintip itik di tepi kali

Dulu aku penakut
Sembunyi diri di sisi sepi
Bermimpi jadi merpati
Tapi tak mau terbang tinggi
Sakit kalau jatuh

Lalu aku didorong Ibu
Tersungkur di ujung pintu
Ibu buka jendela, Ibu buka pintu
Tangannya dikibaskan maju mundur
Menyuruh udara segar masuk
Dan aku hirup

Aku sadar, aku lapar
Udara yang kuhirup sesakkan dada
Kurang! aku ingin udara yang lebih segar
Rasanya ingin punya sayap
Jadi merpati! ah... sekalian Rajawali saja
Biar tak usah capek kepakkan sayap
Cukup bentangkan di udara lepas

Sukabumi - Jakarta, Minggu 25 Mei 2014

Read more...

Pesan untuk Angin

Yuni Budiawati

Angin tak pernah tahu kemana dia pergi
Angin juga tak pernah tahu kapan dia akan berhenti berhembus
Kepada dedaun, ilalang, dan rerumput
Dia berucap sapa dengan lambaian lembut
Tak akan dia mengeluh
Bahkan dia akan terus menari pada alam

Angin tiup sisa awan hitam yang tutupi langit
Seperti menghapus buliran bening di sudut mataku
Membersihkan setiap peluh di dahiku
Memberiku semangat lewat hembusan lembutnya,
yang menyentuh tubuh lelahku

Kutitipkan pesanku pada angin
Yang akan disampaikannya pada ribuan dedaun yang menantinya diujung senja
Pada ombak yang akan dia bawa ke samudera luas
Pada sungai yang akan membawanya dari hulu
Pada langit lewat awan yang berarak
Dan pada masa depanku yang menanti di ujung gerbang sana

Kutitipkan pesanku pada angin
Dari setiap jejak langkahku
Dari setiap angan dan harapanku
“Bahwa aku akan menemui mereka, dengan diriku yang gemilang”

Ciputat, 6 Mei 2014

Read more...

Perempuan dalam Emansipasi

Yuni Budiawati

Aku lihat jalanan besar ibukota
Mobil mewah mengantri padat, saling mengklaksoni
Seperti ingin memamerkan kehebatannya
Sepeda motor saling menyalip, tak mau tertinggal kesempatan pamer
Juga gedung-gedung pencakar langit
Berjejer megah di sepanjang jalan
Saling beradu siapa yang paling tinggi dan gagah

Dan aku, bertahan di tengah desakan orang-orang
Berpegang kuat pada tiang agar tak terdorong dan jatuh
Sambil memandang mereka yang duduk santai di dalam mobil mewah
Memainkan gadget terbaru dan mendengarkan musik

Namun, aku bersyukur bisa disini
Sekolah tinggi, merasakan hidup keras, dan juga megahnya ibukota
Berbeda dengan temanku, yang menikah lalu punya anak
Meskipun kesempatan mereka sama sepertiku
Emansipasi

Lalu aku melihat lurus ke depan
Pengemudi itu juga merasakan emansipasi
Yang membuat tangan lembutnya kasar
Kulitnya kusam terkena asap knalpot sepanjang hari
Bergelut dengan mayoritas laki-laki di sekitarnya
Emansipasi

Bukankah Kartini hanya ingin perempuan sejahtera?
Belajar semua hal yang dia suka
Bertanya semua hal yang ingin dia tahu
Bergaul dengan semua orang tanpa memandang status
Mendidik anaknya dengan ilmu yang dia dapat
Mendapat pengakuan dan penghargaan dari kaum lelaki
Bukan hanya memperalatnya di dapur dan di ranjang
Seperti budak yang tak punya pilihan

Tapi apakah emansipasi juga mengiyakan
Saat perempuan justru jadi budak, tak hanya di dapur dan ranjang
Tapi juga di pabrik-pabrik bahkan jalanan
Perlakuan antara lelaki dan perempuan pun sama. Bersyukurkah?
Aku tak tahu itu karena emansipasi
Atau memang takdir setiap perempuan berbeda

Ciputat, 6 Mei 2014

Read more...

Demi Waktu

Yuni Budiawati

Demi waktu

Sesal seorang bocah yang bangun kesiangan saat hari Minggu
Hingga dia ketinggalan nonton kartun favoritnya
Sesal seorang murid karena dia bermain game semalaman
Dan esoknya sang guru memberikan ulangan dadakan
Sesal seorang gadis remaja yang kebablasan saat pacaran
Sekarang dia menanggung malu karena perutnya membuncit
Sesal seorang pecandu yang tak bisa menahan nafsu
Kini dia mengerang melawan kematian

Demi waktu

Sesal seorang ayah yang sibuk dengan pekerjaan
Saat istrinya selingkuh dan anaknya jadi preman
Sesal seorang ibu yang berkata, “Ibu tak suka punya anak nakal!”
Saat anaknya tidak nakal lagi karena sudah benar-benar pergi
Sesal seorang anak pada orangtuanya
Saat orangtuanya mulai renta dan meninggalkan dirinya

Demi waktu

Sesal seorang masinis mengapa dia tidak mengerem 10 menit yang lalu
Sebelum kecelakaan itu menghancurkan semuanya
Sesal seorang pelari kenapa dia tak bisa lebih cepat
Setelah dia tahu hanya berbeda selisih 4 detik dengan pesaingnya

Demi waktu

Mereka berteriak, “Tuhan putar kembali waktu! Aku berjanji akan lebih baik!”
Tapi sayang, waktu tak bisa bergerak mundur
Sudahlah... simpan saja sesalmu dan berubahlah
Semoga esok lebih baik

Ciputat, 19 April 2014

Read more...

Bingkai Senja*

Yuni Budiawati

Jingga merebak indah selimuti langit
Langit yang sama, seperti saat itu
Hanya saja keadaan yang berbeda

Senja itu
Aku menatap jendelamu dari jendelaku
Kini jendela kamarmu selalu tertutup
Aku tak bisa menatapmu
Aku juga tak bisa lagi melempari jendelamu dengan kerikil
Kerikil yang sudah kupersiapkan di meja belajarku

Hampir setiap malam
Kudengar deru motormu melewati rumahku
Mungkin untuk mengantarkan gadis itu pulang
Aku tak tahu sejak kapan kalian punya jadwal bersama
Ah... mungkin sejak ‘Malam itu’**
Saat kaumemberikannya amplop biru
Lalu kaubersiul sepanjang jalan setelah menemuinya

Maaf, aku tak penuhi ajakan traktiranmu
Bukan, bukan lupa, aku hanya tak ingin berjumpa denganmu
Aku menyesal, tapi sudahlah... mungkin kau juga lupa dengan janjimu

Jingga mulai meredup
Aku rindu lukisan senja yang menampakkan dirimu indah dalam bingkai

Kau itu Mahakarya Sang Pencipta
Kau itu seni
Lukisan dalam bingkai senjaku

Aku rindu melempari jendela kamarmu
Sekarang, kerikil itu masih menumpuk di meja belajarku

Aku sangat merindukanmu
Meski, aku hanya sebatas tetangga baru bagimu

Senja telah usai, langit berubah gelap
Kututup jendela kamarku sambil terus berharap jendela kamarmu akan terbuka
“Kapan kau mau mentraktirku?”, Kataku lewat pesan singkat
Apakah janjimu masih kau simpan?
Aku tak tahu

Ciputat, 19 April 2014
*Lanjutan puisi dengan sudut pandang pada puisi ‘Lewat Jendela’ 9 Februari 2014.
**Lihat puisi ‘Malam itu’ 6 April 2014

Read more...

Malam itu*


Yuni Budiawati

Pagi itu aku melihatnya berlari melewati rumahku
Tak ada kesan lain selain ‘cantik’
Udara saat itu sangat segar, sesegar dirinya
Mentari malu-malu mengintip muncul, semalu diriku

Kuberanikan diri berkenalan dengannya sore itu
Kupakai kaos Polo biru yang kubeli seminggu lalu 
Dan sekotak kue lapis legit untuk teman baru
Sayang dia tak ada di rumah, “Belum pulang,” kata sang ibu

Akhirnya pada tetangga baru yang datang tadi siang  kue itu kuberikan Aku memberikannya lewat jendela karena tak ada jawaban
Tetangga baru itu sangat mengganggu, setiap saat berteriak menyapaku
Melempari jendelaku saat malam, hanya untuk menanyakan PR atau iseng
Aku capek! akhirnya kuberikan nomor ponselku, tetap saja begitu
Tapi setelah lama kita jadi teman yang baik

Malam ini aku akan berkenalan dengannya
Uangku tak cukup untuk membeli sekotak kue
Kuputuskan untuk membuat puisi saja
Berkali-kali kurangkai kata tak ada yang tepat
Sudah berlembar-lembar kertas kubuang, aku frustasi!

Aku mendengar deru motornya dari kamarku, dia sudah pulang
Aku melongok ke jendela dan melambaikan tangan ke arahnya
Memintanya untuk menunggu dan aku segera berlari ke arah rumahnya

Malam itu kuberdiri di depan jendela kamarnya
Dia melongok dari jendela, rambutnya terurai ‘cantik’
“Kamu siapa?” pertanyaan pertama dari suaranya yang merdu
Terbata-bata aku menjelaskan, matanya membulat ‘cantik’
Kuberikan amplop biru itu padanya, senyumnya merekah ‘cantik’
Kami sama-sama tersenyum malam itu.

Sepanjang jalan aku bersiul, bahagia
Malam itu rasanya bintang lebih banyak dari biasanya
Malam itu rasanya lebih terang dari biasanya
Rembulan malam itu pun...

Ciputat, 06 April 2014
*Lihat puisi “Lewat Jendela”, Minggu 09 Januari 2014.

Read more...

Pantulan Dalam Cermin

Yuni Budiawati

Dia tatap lama-lama wajahnya
Wajahnya yang setia menemani
Menemani selama 43 tahun
43 tahun penuh suka duka

Terlihat jelas di ujung matanya garis
Garis-garis halus keriput
Keriput yang juga muncul di dahi
Dahi yang menyimpan banyak masalah

Dia tatap lama-lama wajahnya kini
Kini wajahnya kencang tak ada keriput
Keriput penanda tua
Tua itu yang dia benci

Dia tatap pantulan dirinya
Dirinya dalam sebalut daging
Daging yang ditutupi lemak
Lemak di lengan, perut, dan paha 

Dia tatap pantulan dirinya kini
Kini dirinya tak lagi berlemak
Berlemak penanda tua
Tua itu yang dia benci

Dia tatap lagi wajahnya
Wajahnya yang hidung, mata dan bibirnya kurang
Kurang juga tubuhnya
Tubuhnya mulai kendur sekarang

Tiba-tiba suaminya berteriak “Pecahkan saja cerminnya!”

Ciputat,
Minggu, 30 Maret 2014

Read more...

  © Langit Merah Mawar Blog Puisi Yuni Budiawati by Ourblogtemplates.com 2014

Log In