Teman di Ujung Senja*

>> Rabu, 25 Juni 2014

Yuni Budiawati

Tak sengaja
Ya... aku mengenalnya secara tak sengaja
Lewat jendela,
di ujung Selasa senja

Lewat jendela kami bercanda
Tertawa pada sikapnya yang manja
Menunjukan wajah ceria,
lewat jendela saat senja

Kini saat senja
Aku menutup jendela,
saat dia membukanya
Karena surat berwarna jingga,
yang ada di atas meja

Ya... surat cinta berwarna jingga
Dari seorang teman,
yang kukenal dengan tak sengaja
di ujung Selasa senja

Senja...
Bagaimana caranya kukatakan,
bahwa dia sangat menawan
Bagaimana caranya kukatakan,
bahwa dia sangat perhatian

Tapi senja...
Bagaimana bisa kukatakan,
Jika ada perempuan yang lebih menawan
Bagaimana bisa kukatakan
Jika bagiku dia hanya,
teman di ujung senja

Ciputat, Jumat, 6 Juni 2014
*Lanjutan puisi ‘Bingkai Senja’ 19 April 2014

Read more...

Tinta dalam Secarik Kertas

Yuni Budiawati

Aku ingin menulis sajak
Di atas secarik kertas
yang kutemukan di tas

Aku tak tahu pasti,
apa yang ingin kutulis
Tentang langit yang biru?
Tapi langit sedang kelabu
Tentang duka cinta?
Aku juga tak tahan dengan airmata
Atau tentang masa depan,
yang tak tahu kapan akan datang?

Ah... aku tak tahu!

Aku tak tahu apapun,
tentang sajak ataupun pantun
Kini di atas kertasku itu
hanya coretan tak menentu

Tinta    Tinta    Tinta    Tinta
                  Tinta
                  Tinta
                  Tinta
                  Tinta
                  Tinta

Ciputat, Jumat, 30 Mei 2014

Read more...

Punya Sayap

Yuni Budiawati

Dulu aku pemalu
Sendiri menyepi di balik bilik
Mengintip itik di tepi kali

Dulu aku penakut
Sembunyi diri di sisi sepi
Bermimpi jadi merpati
Tapi tak mau terbang tinggi
Sakit kalau jatuh

Lalu aku didorong Ibu
Tersungkur di ujung pintu
Ibu buka jendela, Ibu buka pintu
Tangannya dikibaskan maju mundur
Menyuruh udara segar masuk
Dan aku hirup

Aku sadar, aku lapar
Udara yang kuhirup sesakkan dada
Kurang! aku ingin udara yang lebih segar
Rasanya ingin punya sayap
Jadi merpati! ah... sekalian Rajawali saja
Biar tak usah capek kepakkan sayap
Cukup bentangkan di udara lepas

Sukabumi - Jakarta, Minggu 25 Mei 2014

Read more...

Pesan untuk Angin

Yuni Budiawati

Angin tak pernah tahu kemana dia pergi
Angin juga tak pernah tahu kapan dia akan berhenti berhembus
Kepada dedaun, ilalang, dan rerumput
Dia berucap sapa dengan lambaian lembut
Tak akan dia mengeluh
Bahkan dia akan terus menari pada alam

Angin tiup sisa awan hitam yang tutupi langit
Seperti menghapus buliran bening di sudut mataku
Membersihkan setiap peluh di dahiku
Memberiku semangat lewat hembusan lembutnya,
yang menyentuh tubuh lelahku

Kutitipkan pesanku pada angin
Yang akan disampaikannya pada ribuan dedaun yang menantinya diujung senja
Pada ombak yang akan dia bawa ke samudera luas
Pada sungai yang akan membawanya dari hulu
Pada langit lewat awan yang berarak
Dan pada masa depanku yang menanti di ujung gerbang sana

Kutitipkan pesanku pada angin
Dari setiap jejak langkahku
Dari setiap angan dan harapanku
“Bahwa aku akan menemui mereka, dengan diriku yang gemilang”

Ciputat, 6 Mei 2014

Read more...

Perempuan dalam Emansipasi

Yuni Budiawati

Aku lihat jalanan besar ibukota
Mobil mewah mengantri padat, saling mengklaksoni
Seperti ingin memamerkan kehebatannya
Sepeda motor saling menyalip, tak mau tertinggal kesempatan pamer
Juga gedung-gedung pencakar langit
Berjejer megah di sepanjang jalan
Saling beradu siapa yang paling tinggi dan gagah

Dan aku, bertahan di tengah desakan orang-orang
Berpegang kuat pada tiang agar tak terdorong dan jatuh
Sambil memandang mereka yang duduk santai di dalam mobil mewah
Memainkan gadget terbaru dan mendengarkan musik

Namun, aku bersyukur bisa disini
Sekolah tinggi, merasakan hidup keras, dan juga megahnya ibukota
Berbeda dengan temanku, yang menikah lalu punya anak
Meskipun kesempatan mereka sama sepertiku
Emansipasi

Lalu aku melihat lurus ke depan
Pengemudi itu juga merasakan emansipasi
Yang membuat tangan lembutnya kasar
Kulitnya kusam terkena asap knalpot sepanjang hari
Bergelut dengan mayoritas laki-laki di sekitarnya
Emansipasi

Bukankah Kartini hanya ingin perempuan sejahtera?
Belajar semua hal yang dia suka
Bertanya semua hal yang ingin dia tahu
Bergaul dengan semua orang tanpa memandang status
Mendidik anaknya dengan ilmu yang dia dapat
Mendapat pengakuan dan penghargaan dari kaum lelaki
Bukan hanya memperalatnya di dapur dan di ranjang
Seperti budak yang tak punya pilihan

Tapi apakah emansipasi juga mengiyakan
Saat perempuan justru jadi budak, tak hanya di dapur dan ranjang
Tapi juga di pabrik-pabrik bahkan jalanan
Perlakuan antara lelaki dan perempuan pun sama. Bersyukurkah?
Aku tak tahu itu karena emansipasi
Atau memang takdir setiap perempuan berbeda

Ciputat, 6 Mei 2014

Read more...

Demi Waktu

Yuni Budiawati

Demi waktu

Sesal seorang bocah yang bangun kesiangan saat hari Minggu
Hingga dia ketinggalan nonton kartun favoritnya
Sesal seorang murid karena dia bermain game semalaman
Dan esoknya sang guru memberikan ulangan dadakan
Sesal seorang gadis remaja yang kebablasan saat pacaran
Sekarang dia menanggung malu karena perutnya membuncit
Sesal seorang pecandu yang tak bisa menahan nafsu
Kini dia mengerang melawan kematian

Demi waktu

Sesal seorang ayah yang sibuk dengan pekerjaan
Saat istrinya selingkuh dan anaknya jadi preman
Sesal seorang ibu yang berkata, “Ibu tak suka punya anak nakal!”
Saat anaknya tidak nakal lagi karena sudah benar-benar pergi
Sesal seorang anak pada orangtuanya
Saat orangtuanya mulai renta dan meninggalkan dirinya

Demi waktu

Sesal seorang masinis mengapa dia tidak mengerem 10 menit yang lalu
Sebelum kecelakaan itu menghancurkan semuanya
Sesal seorang pelari kenapa dia tak bisa lebih cepat
Setelah dia tahu hanya berbeda selisih 4 detik dengan pesaingnya

Demi waktu

Mereka berteriak, “Tuhan putar kembali waktu! Aku berjanji akan lebih baik!”
Tapi sayang, waktu tak bisa bergerak mundur
Sudahlah... simpan saja sesalmu dan berubahlah
Semoga esok lebih baik

Ciputat, 19 April 2014

Read more...

Bingkai Senja*

Yuni Budiawati

Jingga merebak indah selimuti langit
Langit yang sama, seperti saat itu
Hanya saja keadaan yang berbeda

Senja itu
Aku menatap jendelamu dari jendelaku
Kini jendela kamarmu selalu tertutup
Aku tak bisa menatapmu
Aku juga tak bisa lagi melempari jendelamu dengan kerikil
Kerikil yang sudah kupersiapkan di meja belajarku

Hampir setiap malam
Kudengar deru motormu melewati rumahku
Mungkin untuk mengantarkan gadis itu pulang
Aku tak tahu sejak kapan kalian punya jadwal bersama
Ah... mungkin sejak ‘Malam itu’**
Saat kaumemberikannya amplop biru
Lalu kaubersiul sepanjang jalan setelah menemuinya

Maaf, aku tak penuhi ajakan traktiranmu
Bukan, bukan lupa, aku hanya tak ingin berjumpa denganmu
Aku menyesal, tapi sudahlah... mungkin kau juga lupa dengan janjimu

Jingga mulai meredup
Aku rindu lukisan senja yang menampakkan dirimu indah dalam bingkai

Kau itu Mahakarya Sang Pencipta
Kau itu seni
Lukisan dalam bingkai senjaku

Aku rindu melempari jendela kamarmu
Sekarang, kerikil itu masih menumpuk di meja belajarku

Aku sangat merindukanmu
Meski, aku hanya sebatas tetangga baru bagimu

Senja telah usai, langit berubah gelap
Kututup jendela kamarku sambil terus berharap jendela kamarmu akan terbuka
“Kapan kau mau mentraktirku?”, Kataku lewat pesan singkat
Apakah janjimu masih kau simpan?
Aku tak tahu

Ciputat, 19 April 2014
*Lanjutan puisi dengan sudut pandang pada puisi ‘Lewat Jendela’ 9 Februari 2014.
**Lihat puisi ‘Malam itu’ 6 April 2014

Read more...

Malam itu*


Yuni Budiawati

Pagi itu aku melihatnya berlari melewati rumahku
Tak ada kesan lain selain ‘cantik’
Udara saat itu sangat segar, sesegar dirinya
Mentari malu-malu mengintip muncul, semalu diriku

Kuberanikan diri berkenalan dengannya sore itu
Kupakai kaos Polo biru yang kubeli seminggu lalu 
Dan sekotak kue lapis legit untuk teman baru
Sayang dia tak ada di rumah, “Belum pulang,” kata sang ibu

Akhirnya pada tetangga baru yang datang tadi siang  kue itu kuberikan Aku memberikannya lewat jendela karena tak ada jawaban
Tetangga baru itu sangat mengganggu, setiap saat berteriak menyapaku
Melempari jendelaku saat malam, hanya untuk menanyakan PR atau iseng
Aku capek! akhirnya kuberikan nomor ponselku, tetap saja begitu
Tapi setelah lama kita jadi teman yang baik

Malam ini aku akan berkenalan dengannya
Uangku tak cukup untuk membeli sekotak kue
Kuputuskan untuk membuat puisi saja
Berkali-kali kurangkai kata tak ada yang tepat
Sudah berlembar-lembar kertas kubuang, aku frustasi!

Aku mendengar deru motornya dari kamarku, dia sudah pulang
Aku melongok ke jendela dan melambaikan tangan ke arahnya
Memintanya untuk menunggu dan aku segera berlari ke arah rumahnya

Malam itu kuberdiri di depan jendela kamarnya
Dia melongok dari jendela, rambutnya terurai ‘cantik’
“Kamu siapa?” pertanyaan pertama dari suaranya yang merdu
Terbata-bata aku menjelaskan, matanya membulat ‘cantik’
Kuberikan amplop biru itu padanya, senyumnya merekah ‘cantik’
Kami sama-sama tersenyum malam itu.

Sepanjang jalan aku bersiul, bahagia
Malam itu rasanya bintang lebih banyak dari biasanya
Malam itu rasanya lebih terang dari biasanya
Rembulan malam itu pun...

Ciputat, 06 April 2014
*Lihat puisi “Lewat Jendela”, Minggu 09 Januari 2014.

Read more...

Pantulan Dalam Cermin

Yuni Budiawati

Dia tatap lama-lama wajahnya
Wajahnya yang setia menemani
Menemani selama 43 tahun
43 tahun penuh suka duka

Terlihat jelas di ujung matanya garis
Garis-garis halus keriput
Keriput yang juga muncul di dahi
Dahi yang menyimpan banyak masalah

Dia tatap lama-lama wajahnya kini
Kini wajahnya kencang tak ada keriput
Keriput penanda tua
Tua itu yang dia benci

Dia tatap pantulan dirinya
Dirinya dalam sebalut daging
Daging yang ditutupi lemak
Lemak di lengan, perut, dan paha 

Dia tatap pantulan dirinya kini
Kini dirinya tak lagi berlemak
Berlemak penanda tua
Tua itu yang dia benci

Dia tatap lagi wajahnya
Wajahnya yang hidung, mata dan bibirnya kurang
Kurang juga tubuhnya
Tubuhnya mulai kendur sekarang

Tiba-tiba suaminya berteriak “Pecahkan saja cerminnya!”

Ciputat,
Minggu, 30 Maret 2014

Read more...

Ah... Jaman Sekarang

>> Senin, 24 Maret 2014

Yuni Budiawati


Di sudut kota anak muda bergerombol dan kongko-kongko
Dandan menor ala tante hebring padahal bocah
Tato sana tindik sini
Keren katanya, padahal sekujur tubuh sakit minta ampun 
Jagoan katanya, padahal sekali jotos langsung keleper

Ah... jaman sekarang

Perempuan lenggak-lenggok tenteng tas mahal
Lelaki berlagak necis sepatunya kelas atas
Bangga punya barang dari yang dulu jajah
Produk sendiri dianggap rendahan
Norak! Kampungan!

Ah... jaman sekarang

Anak sekolahan pake baju trendi, hp canggih
Tas dan sepatu bermerek biarpun KW
Padahal Ibu Bapaknya ngutang sana-sini
Ngirit makan buat buku anak

Ah... jaman sekarang

Lihat! Sang pusaka dikibarkan
Indonesia Raya dikumandangkan
Tak ada kerja paksa bikin terowongan
Itu sudah lalu
Kita merdeka katanya
Tapi, masih saja pikiran tak maju, akhlak malah bobrok
Mau diperbudak hutang, diperalat teknologi
Mereka terbahak, harga diri bangsa hancur
Sadar! Kita masih dijajah kawan

Ah... jaman sekarang

Ciputat, 16 Maret 2014

Read more...

Langkahmu Ayah

Yuni Budiawati


Tap tap
Langkah itu buatku berlari ke depan pintu
Bukan untuk sebungkus permen atau sekotak kue
Bukan untuk rengekan tambahan jajan
Tapi sebuah pelukan hangat dan kebahagiaan
Dari lengkung senyumnya yang letih menawan

Tap tap
Langkah itu berlari cepat ke arahku
Saat ragaku tak seimbang lalu jatuh
Saat jiwaku rapuh seakan dunia ‘kan runtuh

Tap tap
Langkahnya mantap namun berat
Sepatunya disemir hingga hitam mengkilat
Tangannya memegang lenganku kuat
Menuntunku pada langkah awal yang baru

Tap tap
Tongkat topang kakinya lemah
Mendekatiku dengan langkah payah
Kerutan dan rambut putihnya bertambah
Tapi pelukannya masih sehangat dulu
Lengkung senyumnya masih semenawan dulu

Tap tap
Langkahku mulai goyah
Mengantarkan pada langkahnya yang terakhir
Langkahmu Ayah...

Ciputat,
Minggu, 09 Maret 2014

Read more...

Rinduku Di Sana

Yuni Budiawati


Bau asin tajam menusuk hidung
Gelombang menghempas pasang karang
Rinduku ada di sana

Aku berharap langit memelukku
Deburan ombak sebagai selimut yang mengulumku lembut
Membawaku pada dasar laut dalam

Rinduku menderu berlomba dengan debur ombak
Jeritanku dibawa sang camar terbang
Tapi hatiku di sini

Berdiri di ujung hempasan ombak beralas pasir
Rinduku
Seperti ombak hapus sang jejak pasir
Rinduku
Biarlah lalu, hilang bersama buih
Hening di tengah laut

Ciputat,
Selasa, 4 Maret 2014

Read more...

Sang Penjaga Hidup

Yuni Budiawati


Aku masih terlalu kecil untuk mengerti hidup
Aku bertanya pada ibu mengapa aku harus tumbuh
Katanya kita sabda Tuhan untuk alam

Kita Sang penjaga hidup
Aku berusaha untuk tumbuh
Bumi kuatkan ragaku kokoh
Menopang beratku agar tak rubuh

Aku harus tetap tumbuh
Setiap nafasku adalah matahari
Setiap uratku adalah hujan
Sari-sariku adalah kehidupan

Aku harus tumbuh
Menghijau seperti agungnya laut yang biru
Seperti megahnya jingga saat senja
Seperti kuningnya padi yang berisi

Aku harus tumbuh
Karena aku sang penjaga hidup

Ciputat,
Selasa, 4 Maret 2014

Read more...

Langit Merah Mawar

>> Sabtu, 08 Maret 2014

Maaf, halaman ini belum tersedia.

Read more...

Lewat Jendela

>> Rabu, 19 Februari 2014

Yuni Budiawati


Langit masih senja ketika kauketuk jendela kamarku
Kaubilang tak ada jawaban dari pintu
Kulihat sekotak kue lapis legit di tanganmu
"Sebagai ucapan selamat datang untuk tetangga baru,"
katamu dengan senyum tulus dan aku luluh

Mentari menyusup lembut dari sela-sela jendela
Tapi kapuk empuk masih menggoda
Lalu deru mesin motormu terdengar
Aku langsung beranjak membuka jendela
"Selamat pagi!" kataku berteriak, tak sadar belek di mata

Berkali-kali kulempar kerikil ke arah jendela kamarmu
Hanya untuk menanyakan PR atau iseng
Kaukesal dan memberiku nomor ponselmu
Bagus... itu akan menambah rasa isengku, hahaha...
Tapi tetap menatap dirimu lewat jendela, masih jadi rutinitas

Langit senja, sama seperti saat pertama kali kita bertemu
Aku menatap dirimu dalam bingkai jendela kamarku
Di sana kautulis sesuatu, berkali-kali kauganti kertas, tampak frustasi
Aku sudah siapkan kerikil dari halaman untuk kulemparkan
Tapi hari ini, aku hanya ingin menatapmu saja

Kau adalah seni, seakan aku melihat lukisan hidup dalam bingkai
Hari ini pun aku hanya ingin menatapmu saja
Atau hanya ucapan 'selamat sore' lewat pesan singkat
Kauterlihat gusar menunggu seseorang, di tanganmu ada amplop kecil
Tiba-tiba kaumelongok keluar jendela dan melambaikan tangan

Lambaian itu bukan pada sudut 180 derajat tapi 135 derajat, bukan aku
Kaulari ke luar menuju arah rumah sebelahku
Penasaran, aku mengintip dari jendela kamar
Kauberdiri di sana dan seorang gadis melongok dari jendela kamarnya
Kauberikan amplop itu lalu kalian tersenyum

Kaukembali sambil bersiul-siul sepanjang jalan
Aku masih memperhatikanmu dari jendela
Kauberhenti di depan jendela kamarku kaumelambai sambil tersenyum
Aku tak menyambut, dan kauterlihat aneh lalu masuk ke rumah
"Besok kita makan ya, aku traktir," katamu lewat pesan singkat

Sepertinya, besok pun aku hanya bisa menatapmu lewat jendela saja


Ciputat,
Minggu, 9 Februari 2014

Read more...

Kita Sang Pecinta

>> Jumat, 07 Februari 2014

Yuni Budiawati


Kita di atas bumi yang sama
Hanya jiwa menolak hidup
Kita di bawah langit yang sama
Hanya tangan tak jua gapai

Aku menari ikuti angan
Susuri sungai bawa jernih kehidupan
Lalu berdiri di perbatasan
Menghadang, menantang, melawan

Kaumelompat ikuti awan
Dendangkan nyanyian alam
Lalu sebrangi alur yang kausebut jalan
Berlari melawan angin meski tetap bertahan

Kita duduk tertunduk, hampa terhempas, bisu
Terlanjur hanyut, menapak jejak
Aku butuh Rahmat-Nya
Kaurindu Berkat-Nya
Kita sama, kita sang pecinta

Tenang...
Aliran hangat sang cahaya tetap menyertai kau dan aku
Menuntun kita, ikuti angin kitari alam
Menemani hingga kelam
Kita masih di bumi dan langit yang sama
Meski jalan berbeda, tak bersama


Ciputat,
Jum’at, 31 Januari 2014

Read more...

Tuhan Punya Rencana

>> Rabu, 05 Februari 2014

Yuni Budiawati


Langit tak menunjukkan merah jingganya
Awan gelap bergerombol menguasai
Mentari tak bisa mengintip sedikitpun
Hanya remang-remang cahaya menembus kabut

Kilatan petir menukik tajam, angkuh
Langit bergemuruh seperti dicambuk
Air langit jatuh perlahan lalu deras
Langit tak menunjukkan merah jingganya

Sebagian mereka  loncat kegirangan
Ladangnya tak akan terbelah kering
Sebagian mereka panik, mengeluh
Sungai tak kuat menahan luapan

Alam sedang menunjukkan kemarahannya
Atau, Tuhan sedang berbuat baik pada kami
Atau mungkin keduanya
Tuhan punya rencana

Read more...

Hitam Pahit Hidup

>> Rabu, 29 Januari 2014

Yuni Budiawati


Aku hitam
Tidak kotor, memang hitam
Hitamku buat mereka demam
Bak si mata sipit, sedikit terpejam
Tapi mereka langsat, aku legam

Aku hitam
Aku dengar celoteh mereka, samar
Gelak tawa, saat 'Atut' gadis desa disebut
Kata sampah, saat amarah diumbar
Harapan saat rombongan ibu pulang dari pasar

Aku pahit
Tidak untuk semua, cuma mereka
Katanya manis itu tuk wanita
Memang, pahit lebih menggigit

Aku pahit
Mereka menyeruput lanjut sampai luput
Sampai si lelaki tinggi hitam berteriak "Dia mati gantung diri! katanya ditinggal mati istri,
hutangnya ditagih rentenir, dompetnya tipis, anaknya overdosis!"
Hitamku muncrat, mereka sadar aku pahit

Hitam pahit adalah aku
Betul, hidup juga begitu
Coba mereka nikmati seperti hitam dan pahitku
Mungkin hidup lebih hidup, tak akan redup


Ciputat, ditemani secangkir moccacino dan rintik hujan
Jumat, 24 Januari 2014

Read more...

Hujan

>> Jumat, 24 Januari 2014

Yuni Budiawati


Hujan
Gemericik, cantik, rintik dari langit
Hujan
Mengutuk ku akut menarik selimut

Hujan
Basah, menyeruai bau tanah
Hujan
Sumpah serapah orang bawah
Hujan
Canda tawa riang para bocah

Hujan
Merasuk cinta jadi candu
Hujan
Rindu pilu, alam penuh sendu

Hujan
Canda, lara, romansa, ada bersamanya


Ciputat,
Sabtu, 17 Januari 2014          

Read more...

Lagu Jiwa

>> Minggu, 12 Januari 2014

Yuni Budiawati


Angin itu melambai mengikuti arah gerakan nada
Kadang lambat kadang kencang
Menghembuskan udara segar
Membelai setiap daun dan rerumputan

Alunan sendu tercipta dari setiap gesekan
Begitu merdu menyayat hati
Seakan bermain untuk menikmati musiknya sendiri
Tapi membuat setiap orang yang mendengar terenyuh

Rambut halusnya menggesek dengan indah di atas dawai
Menggetarkan sang dawai yang ikut terhanyut
Membelah kesunyian dengan setiap alunan melodi
Menciptakan harmoni alam sang lazuardi cinta

Sang lagu jiwa...

Read more...

Lebih Indah

Yuni Budiawati


Kabut hitam itu tak mau pergi dari benakku
Padahal telah kuat kuat kutiup biar menghilang
Hingga menyerah hanya menyiksa diri
Menyerah di dalam kegelapan kabut

Waktu itu aku hampir gila
Hidupku mati, rasanya tak akan baik
Menggila dikelilingi kabut
Sesak tak bisa bernafas

Kuberjalan di dalam kabut, hampir gila
Melangkah tanpa melihat tak menapak
Memejamkan mata tak bisa melihat
Terus melangkah tak tentu arah

Satu tangan yang menarikku
tangan-tangan lain muncul
menarikku beramai-ramai
Hingga aku harus berseteru dengan kabut itu
Haah... rasanya aku hidup kembali

Aku menemukan kembali diriku yang mati suri
Aku berlarian seperti terbebas dari pasungan
Bernafas dalam menghirup segarnya udara
Langkahku terhenti kulihat banyak orang di sana

Mereka tersenyum kepadaku dengan tulus
Mengulurkan tangannya ke arahku
Kusambut dan mereka menarikku dalam pelukan
Lebih indah....

Bersama mereka bagai keluarga
Tertawa terbahak bahak sampai pipi pegal
Mengeluarkan celoteh tak bermakna
Lebih indah...
Membuat hidupku bangkit kembali
Seperti reinkarnasi seorang yang putus asa
Menemukan jati diri yang utuh
Lebih indah....

Read more...

Kembali ke Peraduan

Yuni Budiawati


Burung mengepakkan sayapnya menuju sarang
Ayam dan bebek digiring ke kandang
Binatang malam bersiap keluar menguasai gelap
Ya... Alam bersiap menuju peraduannya

Para nelayan mendirikan tiang dan membentangkan layar
Sang Ibu menyuruh anak kecilnya berhenti bermain
Jalanan penuh sesak oleh para pengais rezeki yang kembali pulang
Ya... Alam bersiap menuju peraduannya

Bintang senja berlomba naik bersama sang purnama
Matahari mengantuk cahayanya mulai redup
Sinarnya merubah putihnya awan menjadi jingga
Langit merah mawar bagaikan kilauan minyak

Ya... Alam bersiap menuju peraduannya

Sabtu, 11 Januari 2014
19.45 WIB

Read more...

Puisi Langit Merah Mawar

>> Sabtu, 11 Januari 2014

Yuni Budiawati


Sang surya kembali ke peraduan
Syukur untuk Sang Pencipta
Terima kasih untuk sang waktu
Pujian pada sang alam

Salam perpisahan untuk para makhluk
Menantikan esok hari akan kembali gemilang
Kicauan burung merelakannya meninggalkan hari
Sang purnama siap berada di posisinya

Cahayanya mulai meredup menjingga
Menembus kabut tipis dan awan putih
Berirama bergelombang meredup namun tetap bersinar
Langit menyambutnya pulang

Langit terbelah merekah sempurna
Bagaikan kelopak-kelopak mawar
Kilauannya bagaikan minyak berwarna-warni
Langit merah mawar


Sabtu, 11 Januari 2014
23.10 WIB

Read more...

  © Langit Merah Mawar Blog Puisi Yuni Budiawati by Ourblogtemplates.com 2014

Log In